Ads 468x60px

Andaikata seorang muslim tidak memberi nasihat kepada saudaranya kecuali setelah dirinya menjadi orang yang sempurna, niscaya tidak akan ada para pemberi nasihat. Akan menjadi sedikit jumlah orang yang mau memberi peringatan dan tidak akan ada orang-orang yang berdakwah di jalan Allah ‘Azza wa Jalla. (Al Hasan Al Bashri)

Jumat, 17 Agustus 2012

Hisab atau Rukyat?

Menentukan Awal & akhir Puasa dengan Ilmu Hisab (Falak) atau Ru’yah (melihat hilal dengan mata telanjang)?

Berikut adalah ulasan lengkap berdasar analisis komparatif antara ulama klasik dan kontemporer

Salah satu diskusi yang marak di bicarakan oleh berbagai kalangan umat islam setiap tahun adalah metode penetapan awal dan akhir bulan Ramadhan. Apakah harus dengan ru’yah (melihat hilal dengan mata telanjang) ataukah boleh menggunakan Ilmu Hisab (Falak), yaitu Metode perhitungan yang didasarkan pada peredaran bulan dan matahari.

Fakta dilapangan membuktikan bahwa seringkali umat Islam terpecah dan bersitegang gara-gara berbeda pendapat mengenai masalah ini sehingga menjadi sebuah pertunjukan yang sangat tidak elok. Padahal masalah ini bukanlah barang baru dalam khazanah fiqh Islam. Para ulama klasik seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu as Subki, Ibnu Abidin, Ibnu Rusyd, al Mundiry dan lain-lain telah membincang tema ini dan mereka belum menemukan titik temu.

Pada prinsipnya para Ulama sepakat bahwa ketika bulan sabit (hilal) telah nampak, maka wajib bagi umat islam untuk memulai puasa Ramadhan pada hari besok, akan tetapi mereka berbeda sikap mengenai boleh tidaknya menetapkan jatuhnya awal puasa dengan menggunakan ilmu hisab tanpa harus melakukan ru’yah pada akhir bulan Sya’ban. Di sinilah letak polemik antara pihak yang sepakat dan pihak yang menolak metode ini.

Sebagai langkah mencari kebenaran, penulis akan membeberkan ragam pendapat beserta dalil-dalilnya secara obyektif mudah-mudahan para pembaca mendapatkan sebuah perspektif baru.
Menurut hemat penulis, minimal ada 2 pendapat populer yang dikemukakan oleh Ahli Ilmu tentang boleh tidaknya menggunakan Ilmu hisab dalam menetapkan bulan Ramadhan:

Pendapat pertama:
Menolak metode Ilmu Hisab dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan
Pendapat ini didukung oleh Mayoritas ulama, baik dari generasi klasik (baca: salaf) diantaranya Ibnu Taimiyah (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, juz: 25, hal: 25), Ibnu Abidin (Hasyiyah Ibnu Abidin, juz: 3, hal: 408) Ibnu Rusyd (Bidayah al Mujtahid, Ibnu Rusyd Juz: 2 ,hal: 557), dan dari kalangan Ulama kontemporer diantaranya: Abdul Azis bin Baz (Majmu’ Fatawa, Bin Baz, juz: 15, hal: 111), Bakr Abu Zaid (majalah Majma’ al Fiqh al Islami, Edisi 3, 1408 H, Juz: 2, hal: 821), Sholih al Luhaidan (majalah al Buhuts al Ilmiyah, Edisi 27, hal 95) dan lain-lain.

Dibawah ini diantara Dalil yang dijadikan argumen pendapat ini:
- Firman Allah Ta’ala:
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya: “Barang siapa menyaksikan Bulan, maka hendaknya ia berpuasa” (QS. Al Baqarah: 185)

Sebagian pendukung pendapat ini mengatakan bahwa makna “menyaksikan bulan” dalam ayat diatas adalah ru’yah hilal. Kesimpulan ini tampaknya kurang tepat karena Ahli tafsir dari kalangan Sahabat dan Tabi’in tak satupun mengatakan demikian (Tafsir At Thabari, juz: 2, hal: 193-198).

- Sabda Rasulullah –Shalallahu alaihi wasallam-:
إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا
Artinya: “Bila kalian melihat Hilal maka berpuasalah, dan jika melihatnya maka berbukalah”. HR. Bukhari dan muslim. (Shahih Bukhari, hadist no: 1879 dan Shahih Muslim, hadist no:2457).

Hadist ini menunjukkan bahwa penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan didasarkan dengan melihat hilal.

- Konsensus Ulama (baca: Ijma’)
Para Ulama yang mendukung pendapat ini mengklaim bahwa penentuan awal Ramadhan dengan ru’yah telah menjadi konsensus ulama, hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah:
إنا نعلم بالاضطرار من دين الإسلام أن العمل في رؤية هلال الصوم أو الحج أو العدة أو الإيلاء أو غير ذلك من الأحكام المعلقة بالهلال بخبر الحاسب أنه يرى أو لا يرى لا يجوز، والنصوص المستفيضة عن النبي -صلى الله عليه وسلم- بذلك كثيرة وقد أجمع المسلمون عليه.
Artinya: “Kita secara dogmatis mengetahui dari ajaran islam bahwa menggunakan informasi Ahli ilmu hisab dalam menentukan permulaan puasa, haji, masa ‘Iddah, masa ‘ila’ atau hukum-hukum yang ada kaitannya dengan hilal, bahwa ia sudah melihat tanggal atau sebaliknya , maka tidak diperbolehkan. Dalil-dalil yang diriwayatkan dari Rasulullah –Shalallahu alaihi wasallam tentang hal itu sangat berlimpah. Dan telah menjadi ijma’ seluruh Umat Islam.” ((Majmu’ Fatawa, juz: 25, hal: 132).

Sebenarnya klaim Ijma’ oleh beberapa ulama tentang hal ini tidak terbukti, karena diantara tabi’in dan ulama klasik yang diakui kapasitas ilmunya ada yang cenderung kepada pendapat yang kedua sebagaimana yang akan kita bahas.
Di samping itu ada beberapa ulama penyokong pendapat ini membolehkan Ilmu hisab asalkan sebagai media bantu dan bukan sebagai patokan utama, sebagaimana yang diungkapkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz:
إن استعان به فلا بأس ، ولكن العمدة على رؤية العين
Artinya: “Bila Ilmu Hisab difungsikan sebagai media bantu, maka tidak mengapa, asalkan yang menjadi patokan adalah penglihatan mata telanjang.” ((Majmu’ Fatawa, Bin Baz, juz: 15, hal: 70).

Pendapat kedua:
Boleh menggunakan Ilmu Hisab dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan
Pendapat ini dianut oleh ulama klasik seperti Mutharrif bin Abdillah as Syikkhir dari kalangan tabi’in (al Istidzkar, Ibnu Abdil Bar, juz: 10, Hal: 18) ,Ibnu Suraij as Syafi’I, Ibnu Qutaibah (lihat: Fathul bari, Ibnu Hajar, juz: 3, hal: 157) dan Ibnu As Subki (al Ilmu al Mansyur fi Itsbat as Syuhur, Ibnu as Subki, hal: 8). Sedangkan dari golongan ulama kontemporer Ahmad Syakir (Awail as Syuhur al Arabiyah, Ahmad Syakir, hal 15-16), Musthafa az Zarqa (Limadza al Ikhtilaf haula al Hisab al Falaqi, Musthafa Az Zarqa, Hal 6), Abdullah al Mani’ (at Tahdid al Falaki liawail as Syuhur al Qomariah, makalah th. 1425 H), Yusuf al Qardhawi (Fiqh as Siyam, Yusuf al Qardhawi, hal: 32) dan lain-lain.
Para ulama yang cenderung dengan pendapat ini juga menyampaikan dalil-dalil dari Al quran dan Sunah diantaranya:
- Firman Allah Ta’ala:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاء وَالْقَمَرَ نُوراً وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُواْ عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ
Artinya: “Dialah yang menjadikan matahari bersinar, dan bulan cahaya bercahaya dan menetapkannya dalam posisi-posisi tertentu supaya kalian mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.” (QS. Yunus:5).
Dalil diatas merupakan sebuah isyarat yang sangat jelas tentang disyariatkannya belajar Ilmu hisab agar memudahkan urusan dunia dan akhirat.

- Sabda Rasulullah –Shalallahu alaihi wa sallam-:
فإن غُمَّ عليكم فاقْدُرُوا له
Artinya: “Jika bulan tidak terlihat oleh kalian maka perkirakanlah waktunya.” ((Shahih Bukhari, hadist no: 1879 dan Shahih Muslim, hadist no:2457).
Hadist diatas memberi sinyalemen untuk melakukan perkiraan, perhitungan, pemaksimalan daya fikir dan akal serta memberi support untuk menggunakan ilmu matematika selagi tersedia segala fasilitas untuk itu, sehingga kesalahan bisa dihindari. (lihat: Tulisan DR. Amir Husain Hasan, majalah al Azhar, Edisi Sya’ban, 1418 H, Hal: 1318)

- Sabda Rasulullah –Shalallahu alaihi wa sallam-:
إنّا أُمَّةٌ أُمِّيةٌ لا نَكتُبُ ولا نَحسُبُ
Artinya: “Sesungguhnya kami kaum yang buta huruf, tidak bisa menulis dan menghitung.” ((Shahih Bukhari, hadist no: 1892 dan Shahih Muslim, hadist no:2464).

Hadist ini mendeskripsikan kondisi masyarakat yang masih minim pengetahuan tentang menulis dan berhitung. Sedangkan di zaman ini ilmu falak telah mengalami modernisasi dengan dilengkapi peralatan tehnologi yang canggih dan kenapa kita masih enggan alternative yang lebih baik ini? (lihat: Awail as Syuhur al Arabiyah, Ahmad Syakir, hal 13-14)

Banyak ulama yang setuju dengan pendapat pertama mengatakan bahwa disyariatkannya penetapan awal bulan melalui ru’yah Hilal dengan mata telanjang untuk menghilangan segala kesempitan dan kesulitan umat. Diantaranya adalah ungkapan Ibnu hajar:
إن الحديث علق الحكم بالصوم بالرؤية لرفع الحرج عنهم في معاناة حساب التسيير
Artinya: “Hadist ini menetapkan hukum puasa atas dasar ru’yah demi menghilangkan kesempitan dari mereka dalam hal sulitnya menghitung peredaraan (bulan).” (Fathul Bari: juz: 4, hal: 127).

Pernyataan imam Nawawi juga tak jauh berbeda dengan mengatakan:
ومن قال بحساب المنازل فقوله مردود بقوله صلى الله عليه وسلم في الصحيحين ” إنا أمة أمية لا نحسب ولا نكتب،” ولان الناس لو كلفوا بذلك ضاق عليهم لأنه لا يعرف الحساب إلا أفراد من الناس في البلدان الكبار.

Artinya: “0rang yang mengatakan bolehnya berpatokan pada Hitungan posisi bulan, maka pendapatnya tertolak dengan sabda Nabi -Shalallahu alaihi wa sallam- yang tercantum dalam dua kitab shahih, yaitu hadist (yang artinya: Sesungguhnya kami kaum yang buta huruf, tidak bisa menulis dan menghitung) dan apabila masyarakat dibebani dengan hal tersebut tentu akan merasa sulit karena mereka awam tentang Ilmu hitung kecuali beberapa orang saja di kota-kota besar.” (al Majmu’, An Nawawi, juz: 6, hal: 270).

KESIMPULAN:
Setelah menelaah masing-masing pendapat beserta dalil dan argument yang disampaikan dua kelompok Ahli Fiqh tersebut, bisa disimpulkan bahwa pendapat pertama lebih cenderung untuk mempertahankan metode penetapan bulan Ramadhan sesuai dengan masa Rasulullah dan para sahabatnya (textual method).

Sedangkan pendapat kedua memandang bahwa cara penentuan bulan Ramadhan adalah hanya sebuah sarana yang bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman apabila ada alternative yang lebih cepat, tepat dan efisien. Apalagi apabila ilmu hitung itu memberi sebuah kesimpulan yang pasti.

Wallahua’lam..

sumber: http://baitijannahti.com/menentukan-awal-akhir-puasa-dengan-ilmu-hisab-falak-atau-ruyah-melihat-hilal-dengan-mata-telanjang/

Tidak ada komentar: